Sukses itu butuh kerja keras

Belakangan ini saya bertanya pada diri saya sendiri, “bisakah saya berprestasi tanpa perlu kerja lembur dan belajar setiap waktu?”. Jawabannya adalah tidak bisa. 

Banyak orang disekitar saya berpikir bahwa hidup saya berjalan mulus, semua rencana dan cita-cita saya tercapai dan berjalan sesuai rencana. Rekan kerja saya juga berpikir bahwa projek penelitian saya berjalan lancar tanpa masalah. Saya sering dengar kalimat seperti, “wah enak ya, kerjaan lancar terus, data selalu bagus, juga bisa jalan-jalan.”, dilontarkan dari orang-orang sekitar saya, termasuk rekan kerja di Swedia. Sesaat, kalimat itu membuat saya berpikir bahwa hidup ini mudah dimana saya bisa bersantai dan menjalani hidup tanpa ambisi, komitmen, dan kerja keras. Sampai beberapa waktu lalu saya tersadar bahwa semua pencapaian hidup saya, membutuhkan kerja keras, komitmen, dan determinasi. 

Pencapaian pertama saya adalah lulus ujian masuk tertulis perguruan tinggi negeri di Universitas Padjadjaran jurusan fisika. Saya bukan siswa jenius yang bisa paham materi pelarajan dengan hanya sekali baca buku atau bisa menyelesaikan soal matematika kurang dari 5 menit. Soal pilihan ganda adalah kelemahan terbesar saya dan waktu itu saya butuh dua kali baca buku untuk bisa paham materi. Saya sadar bahwa masuk perguruan tinggi negeri yang bagus itu penting untuk masa depan saya, terutama untuk mencari pekerjaan. Bagi saya waktu itu, perguruan tinggi bisa merubah hidup saya menjadi lebih baik. Akhirnya, saya menantang kelemahan yang saya sebutkan di atas dengan banyak membaca buku, berlatih soal pilihan ganda dan matematika. Saya tidur 6 jam sehari dan menghabiskan sisa waktu sehari saya untuk membaca buku pelajaran dan latihan soal. Bahkan, saya meminta pengasuh dan ibu saya untuk menyuapi saya saat sarapan dan makan malam agar saya punya waktu tambahan untuk latihan soal ujian. 

Selanjutnya, setelah lulus sarjana, saya berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan master di luar negeri. Waktu itu, orang tua saya mendukung saya untuk bersekolah di UK. Tapi, saya harus mendapatkan nilai IELTS minimum 6.5 dengan nilai setiap kemampuan di atas 6. Kemampuan bahasa Inggris saya tidak bagus, bahkan sejujurnya saya tidak suka bahasa Inggris. Waktu itu, saya bisa menerima bahwa bahasa Inggris itu penting untuk kehidupan internasional, jadi saya memaksa diri saya untuk belalar bahasa Inggris. Ibu saya mendukung saya masuk Wall Street. Bayaran Wall Street itu tidak murah, jadi ibu saya harus mencicil tiap bulan selama satu tahun. Dengan itu semua, timbul komitmen dalam diri saya bahwa ujian IELTS saya harus bagus. Saya datang ke Wall Street setiap hari dari Bogor ke Kota Kasablanka naik KRL. Saya berangkat jam 7-8 pagi dari rumah dan pulang jam 4-5 sore dari KoKas. Saya jadi berteman dengan semua tutor di Wall Street KoKas waktu itu karena kita bertemu dan berinteraksi setiap hari. Akhirnya, hasil IELTS saya memenuhi kriteria masuk University of Glasgow dan saya bisa berangkat. 

Kuliah fisika di Glasgow itu tidak seenak yang saya atau orang-orang bayangkan sebelumnya. Program master satu tahun di Glasgow itu berarti pemadatan program master 2 tahun. Jadi, beban pendidikan satu tahun itu dua kali lipat dari program master yang normal. Ini berat. Waktu itu bahasa Inggris saya tidak sebaik sekarang, ada beberapa perkataan dosen yang saya tidak mengerti dan kecepatan membaca bahasa Inggris saya juga masih lambat. Tapi, mau tidak mau saya harus lulus karena orang tua saya sudah keluar uang banyak. Pendidikan dan biaya hidup di UK itu tidak murah. Jadi, sekali lagi saya harus menantang kelemahan saya. Saya rekam setiap kuliah dan saya banyak baca buku atau jurnal dalam bahasa Inggris. Saya fokus ke bahasa Inggris, semua dari catatan, bacaan, bahkan percakapan dilakukan dalam bahasa Inggris. Tidak ada bahasa Indonesia. Saya juga belajar untuk gesit dan cepat, karena kalau tidak gesit, saya tidak bisa menyelesaikan tugas kuliah. Waktu itu saya harus menulis 2-3 laporan penelitian setiap minggu dalam bahasa Inggris. Setelah satu tahun, saya terbiasa menggunakan bahasa Inggris, cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas, terutama menulis dan membaca dalam bahasa Inggris. Kemudian yang terpenting adalah saya lulus. 

Apakah perjuangan saya berakhir setelah lulus dari Glasgow? Ternyata tidak. Untuk menjadi “Scientist” atau ilmuwan, saya harus memiliki gelar PhD atau Doktor. Karena biaya untuk pendidikan Doktor memberatkan orang tua saya, saya memutuskan untuk mendaftar program Doktor yang setara dengan pekerjaan sebagai peneliti muda. Pekerjaan ini awam untuk universitas-universitas di Eropa, terutama di Swedia. Saya mendapatkan banyak penolakan sebelum saya mendapatkan tawaran untuk posisi saya sekarang. Waktu itu, saya selalu gagal di interview karena saya kurang percaya diri dan kurang bisa mempresentasikan diri dengan baik. Saya mendapat beberapa saran dari supervisor saya di Glasgow, kemudian berlatih sesuai saran beliau. Sampai akhirnya, saya mendapatkan posisi ini. Ini juga bukan berarti akhir dari perjuangan saya. Selama di Swedia saya mengalami banyak hal mulai dari konflik dengan rekan kerja, publikasi sesuai target, menyusun thesis, dan miskomunikasi dengan ahli dari komunitas non-fisika. Untuk publikasi sesuai target dan menyusun thesis, saya bisa menerapkan metode yang saya lakukan di Glasgow yang berarti bahwa saya harus tetap gesit dan cepat. Untuk penyelesaian konflik dan miskomunikasi, saya harus mengikuti kelas komunikasi, psikologi kantor dan organisasi, juga business etiquette. Dari semua pengalaman ini, saya belajar untuk menyeimbangkan diri saya; sebagai ahli Science, terutama fisika, dan sebagai individu yang percaya diri serta pandai berkomunikasi juga menempatkan diri dalam berbagai situasi. 

Kalau dilihat lagi ke belakang, saya selalu melewati Stretch Zone, tempat dimana saya belajar metode atau hal hal baru, sebelum mencapai hal-hal yang saya inginkan atau targetkan. Hasil dari Stretch Zone ini tidak hanya saya mendapatkan hal yang saya inginkan, tapi juga skill baru baik soft-skill dan hard-skill yang bisa saya gunakan di perjalanan hidup saya selanjutnya. Untuk melewati Stretch Zone, saya harus kerja keras, tekun berlatih dan konsisten dengan tujuan saya. Masih banyak hal-hal lain di luar sana yang belum saya kuasai, seperti marketing, branding, politik, dsb. Sedangkan saat ini saya berkeinginan untuk menjadi entrepreneur dan melakukan international trading, jadi saya masih memilki banyak Stretch Zone lain yang harus saya lalui. Ini tidak berakhir, selama kita hidup dan memiliki keinginan untuk memiliki hidup yang lebih baik. Jadi, untuk sementara ini saya menyimpulkan bahwa, apapun/bagaimanapun Stretch Zone yang dialami, saya harus selalu tekun berlatih, kerja keras dan konsisten dengan tujuan saya. 

Catatan: Kata “Science” berasal dari bahasa latin yang berarti pengetahuan. Secara fisolosofi, “Science” adalah pengetahuan yang berasal dari pertanyaan kritis individu dan argumentasi tersistem yang dilakukan individu tersebut untuk menjawab pertanyaan kritis yang ia lontarkan. Argumentasi tersistem ini terdiri dari logika induktif dan deduktif. Sehingga dalam bahasa inggris “Scientist” berarti orang yang menjalankan “Science”, yaitu proses bertanya dan menjawab pertanyaan dengan argumentasi tersistem. 

Next
Next

Analysis on the optimum deployment strategy for quantum computer